RS Universitas Indonesia (RSUI) kembali menggelar rangkaian seminar awam dengan tajuk utama: “Kesehatan Mental dan Remaja Aktif di Masa Pandemi”. Seminar ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia tanggal 10 Oktober 2021 lalu.
Masa remaja merupakan suatu tahap peralihan dalam kehidupan, yang secara alaminya memang penuh dengan ketidakstabilan emosi maupun kecemasan. Pandemi COVID-19 telah meningkatkan tekanan transisi tersebut. Kecemasan dan depresi pada remaja telah menjadi masalah besar, bahkan sebelum pandemi, dan hal itu menjadi semakin parah di era pandemi COVID-19. Pembatasan ruang untuk bersosialisai secara langsung dengan teman sebaya sehingga harus menjalani sekolah dari rumah (School from Home) ataupun ditiadakannya kegiatan ekstrakulikuler secara langsung turut memengaruhi kesehatan mental remaja.
UNICEF pernah mengadakan sebuah penelitian singkat dengan responden sebanyak 8.444 remaja di sembilan negara. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang perasaan yang para remaja hadapi di bulan-bulan pertama pandemi. Di antara peserta, 27% melaporkan merasa cemas dan 15% depresi dalam tujuh hari terakhir. Situasi umum di negara-negara dan daerah mereka telah memengaruhi kehidupan sehari-hari para remaja, sebanyak 46% melaporkan memiliki motivasi yang kurang untuk melakukan kegiatan yang biasanya mereka sukai, 36% merasa kurang termotivasi untuk melakukan pekerjaan rutin. Persepsi mereka tentang masa depan juga telah terpengaruh secara negatif, terutama dalam kasus remaja perempuan yang memiliki dan menghadapi kesulitan tertentu, sebanyak 43% remaja perempuan merasa pesimis tentang masa depan dibandingkan dengan 31% remaja laki-laki. Situasi ini tentunya sangat memprihatinkan, mengingat masa remaja merupakan masa yang sangat penting dan turut memengaruhi bagaimana kepribadian seseorang saat nanti dewasa.
Aktivitas fisik atau latihan fisik merupakan salah satu kegiatan yang tidak hanya menyehatkan tubuh secara fisik namun juga bermanfaat bagi kesehatan mental. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa meluangkan waktu untuk meluangkan latihan fisik dapat mengembangkan fungsi otak dan kesehatan mental yang sehat sangat penting. Manfaat aktivitas fisik dan latihan fisik bagi kesehatan pada remaja dapat menghilangkan potensi risiko penyakit mental, stres, kurang percaya diri, meningkatkan daya ingat, dan banyak hal lainnya.
Meskipun menghadapi kesulitan besar di era pandemi ini, remaja harus dapat berjuang menemukan cara-cara tertentu untuk menghadapi tantangan baru dan mengatasi emosi mereka. Oleh karena itu, Seminar Awam Bicara Sehat RSUI hadir untuk memberikan pengetahuan dan informasi seputar isu yang diangkat, yang utamanya ditujukan bagi para remaja. Seminar ini dimoderatori oleh Feral Khairinisa Hanif, SKM yang merupakan Staf KMK RSUI.
Narasumber pertama yaitu dr. Fransiska Kaligis, Sp.KJ(K) yakni seorang dokter spesialis ilmu kesehatan jiwa konsultan kesehatan jiwa anak RSUI sekaligus staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dokter Fransiska yang akrab disebut dr. Chika membawakan materi dengan tema “Memahami Kesehatan Mental Remaja di Era Pandemi: Persiapan Kembali ke Sekolah”.
Dokter Chika menyampaikan bahwa memahami remaja bisa dimulai dengan memahami perkembangan susunan saraf pusatnya. Remaja masih dalam perkembangan otak terutama bagian pre-frontral sehingga fungsi-fungsinya belum matang dan belum bisa memberikan keputusan seperti halnya orang dewasa. Bagian otak tersebut berperan dalam fungsi kognitif dan emosi. Remaja sudah mampu memahami situasi namun masih bersifat egosentris dan cenderung memutuskan secara impulsif (belum bisa melihat dampak kedepannya). Remaja juga masih dalam pencarian identitas diri. "Saya siapa ya? Masa depan saya akan seperti apa ya?", demikian yang seringkali terbesit dalam benak remaja.
Pertimbangan remaja dalam mengatasi masalah sedang berada pada proses perkembangan. Perubahan psikososial, neurobiologis sirkuit otak, dan hormonal terjadi di fase remaja, inilah yang turut menjadikan remaja rentan mengalami masalah kesehatan jiwa. Kondisi ini perlu dipahami oleh orangtua dan orang lain yang berada di sekitar remaja, agar tidak bersikap judgemental atau memberikan label yang menambah perasaan tidak nyaman.
Gangguan pada kesehatan fisik dan mental remaja di masa pandemi dapat terjadi akibat akumulasi dari berbagai faktor risiko, diantaranya stres atau tekanan takut akan terinfeksi penyakit, rasa takut kehilangan anggota keluarga, masalah ekonomi, kehilangan dukungan keluarga, hilang kesempatan pergi berlibur atau keluar rumah, akses terbatas ke fasilitas layanan kesehatan, kurangnya sosialisasi antar teman, serta kurangnya akses ke sekolah dan fasilitas olahraga.
Pandemi berdampak terhadap kesehatan fisik remaja. Akibat aktivitas fisik yang kurang, screen time berlebih karena saat ini semua serba online, pola tidur yang tidak teratur, serta kebiasaan makan yang berubah dapat meningkatkan risiko obesitas dan penyakit kardiovaskular. Dari segi kesehatan mental, penutupan sekolah menyebabkan peningkatan risiko kecemasan dan kesepian pada remaja, mengingat sebelum pandemi hampir sekitar 8 jam waktu anak berada di sekolah. Sekolah menjadi tempat yang bermakna dalam perkembangan anak dan remaja.
Kasus COVID-19 di Indonesia saat ini mengalami penurunan, dan kegiatan sekolah secara langsung akan kembali dilaksanakan. Beberapa remaja mungkin akan kembali ke sekolah dalam kondisi stress, cemas kesepian, atau bahkan berduka akibat kehilangan anggota keluarga. Oleh karena itu, peran guru dan staf di sekolah juga sangatlah penting dalam mendukung proses transisi kegiatan belajar ini.
Dokter Chika menyebutkan beberapa persiapan umum yang penting dilakukan sebelum kembali ke sekolah yaitu 1) perlu memahami protokol kesehatan, 2) kesehatan mental penting untuk proses belajar, 3) bagi remaja yang telah memenuhi kriteria vaksinasi, pastikan sudah divaksin, 4) terapkan protocol kesehatan, jaga kebersihan tangan dan gunakan masker, 5) tetap aktif, istirahat cukup, dan pastikan kebutuhan nutrisi terpenuhi setiap hari.
Dalam mendukung kesehatan jiwa remaja saat kembali ke sekolah, terdapat beberapa saran yang dokter Chika sebutkan bagi para guru atau tenaga pengajar, diantaranya 1) dengan keluhan remaja, tunjukan empati, jika memungkinkan sekolah dapat mengadakan diskusi one-on-one agar lebih memahami kebutuhan remaja, 2) tanyakan bagaimana kabar remaja, 3) sediakan informasi yang akurat dan terpercaya terkait COVID-19 sesuai dengan usia mereka, 4) minta masukan dan libatkan remaja untuk menciptakan suasana belajar yang aman dan nyaman, 5) peka dan waspada terhadap perubahan tingkah laku remaja, 6) ajak remaja berkegiatan dan berolahraga agar tercipta interkasi.
Di akhir, dokter Chika memberikan beberapa pesan, perkembangan remaja sangatlah dinamis dan dipengaruhi oleh kondisi individu dan lingkungan, sehingga perlu perhatian khusus terhadap remaja dalam periode kembali ke sekolah. Pastikan tenaga pengajar juga dalam kondisi sehat jiwa ketika kembali mengajar di sekolah. Persiapan dan kerja sama semua pihak yang terkait perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi.
Narasumber kedua yaitu Dr. dr. Listya Tresnanti Mirtha, Sp.KO, K-APK yakni seorang dokter spesialis kedokteran olahraga konsultan patient care and community di RSUI sekaligu staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dokter Listya yang akrab disapa Dokter Tata membawakan materi dengan tema “Aktivitas Fisik untuk Remaja Aktif”.
Dokter Tata mengawali materi dengan menampilkan data dari WHO tahun 2020, yang menyebutkan bahwa kondisi kesehatan mental menyumbang 16% dari beban penyakit dan cedera secara global pada kelompok usia 10-19 tahun. Jika gangguan kesehatan mental tidak dapat diatasi saat remaja kemungkinan dapat meluas hingga dewasa, sehingga dapat merusaka kesehatan fisik dan mental serta membatasi kesempatan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan sebagai orang dewasa.
Saat pandemi COVID-19, aktivitas remaja cenderung sedikit. remaja kurang aktif, lebih banyak duduk dan screen time yang meningkat karena menjalai sekolah secara online, serta pola tidur yang tidak beraturan. Dokter Tata mengatakan bahwa duduk yang terlalu lama akan menciptakan beban yang statis, sehingga otot akan berkontraksi secara terus-menerus tanpa adanya fase pemanjangan/pemendekan, yang akhirnya dapat mengganggu sirkulasi otot dan menimbulkan kelelahan.
Saat aktivitas fisik menurun, tingkat kebugaran tubuh juga akan menurun dan hal ini juga dapat meningkatkan masalah kesehatan fisik dan mental. Aktivitas fisik pada anak dan remaja sangatlah penting dan memiliki banyak manfaat, seperti memelihara tingkat kesehatan dan kebugaran jasmani, membangun kesehatan otot dan tulang, mengurangi gejala kecemasan dan depresi, dan lain-lain.
Aktivitas fisik bertujuan untuk membuat tubuh lebih sehat, namun sehat belum tentu bugar. Untuk bugar, kita juga harus melakukan latihan fisik. Apa perbedaan aktivitas fisik, latihan fisik, dan olahraga? Dokter Tata menjelaskan terminologi ketiga istilah ini yang sering disalah-artikan di masyarakat. Aktivitas fisik adalah seluruh gerakan tubuh sebagai hasil kontraksi otot rangka, yang akan meningkatkan energi ekspenditur, misalnya melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau mencuci. Latihan fisik adalah aktivitas fisik yang terencana, terstruktur dengan gerakan yang dilakukan berulang untuk memperbaiki/memelihara komponen kebugaran jasmani, misalnya latihan mengangkat beban beberapa set dan dengan repetisi tertentu. Sementara, olahraga adalah aktivitas fisik yang mempunyai ciri permainan, mempunyai aturan tertentu, dan mengandung unsur kompetisi, misalnya pada olahraga pertandingan basket atau bulu tangkis.
Semakin tinggi intensitas aktivitas fisik dan latihan fisik, semakin banyak manfaat yang didapatkan, namun bahaya dan risikonya juga semakin tinggi. Sehingga perlu diperhatikan pula prinsip BBTT (Baik, Benar, Terukur, Teratur) selama melakukan latihan fisik. 1) Baik, artinya dimulai sejak dini sesuai dengan kondisi fisik, 2) Benar, dilakukan secara bertahap dimulai dari pemanasa, dilanjutkan dengan latihan inti, dan diakhiri dengan pendinginan, 3) Terukur, intensitas latihan sesuai zona latihan dengan denyut nadi latihan (DNL), 4) Teratur, dilakukan 3-5 kali per minggu selang sehari untuk istirahat.
WHO merekomendasikan latihan fisik untuk anak dan remaja yaitu minimal 60 menit per hari (melakukan aktivitas fisik intensitas sedang hingga berat sepanjang minggu, sebagian besar adalah aktivitas aerobik), serta minimal 3 kali per minggu (melakukan aktivitas fisik intensitas berat untuk meningkatkan kekuatan otot dan massa tulang). Selain itu diharapkan screen time maksimal 2 jam per hari. Untuk waktu tidur, tidur berkualitas baik sekitar 9-11 jam per hari.
Di akhir Dokter Tata memberikan kesimpulan bahwa aktivitas fisik dan latihan fisik dapat menjadi strategi ‘terapi’ yang efektif untuk gejala depresi dan kecemasan pada remaja selama masa pandemi. Setiap hari merupakan kesempatan baru untuk dapat melakukan aktivitas dan latihan fisik (tetap terapkan protokol kesehatan). Untuk konsisten dan terus termotivasi, dukungan teman sebaya, keluarga, atau platform elektronik memiliki peran yang penting. Pemilihan jenis aktivitas/latihan fisik bagi remaja selama masa pandemi tetap harus selalu didasarkan pada minat dan usia remaja. Jadi, dengan tetap aktif bergerak selama masa pandemi akan mengurangi stress, meningkatkan imunitas, dan menjaga kebugaran tubuh.
Selain kedua narasumber, turut hadir pula Laurencya Stephanie Rusli, yang merupakan perwakilan remaja dari Komunitas Youth AKAR Indonesia. Laurencya berbagi cerita mengenai bagaimana cara ia tetap bersemangat dan menjaga kesehatan mental selama pandemi COVID-19. Dalam menghadapi masalah, hal yang pertama dilakukan Lauren adalah mengenali bahwa dirinya dalam masalah, biarkan diri merasakan, tidak apa-apa asal jangan berlarut-larut, tetap miliki mindset yang positif, setelah itu cobalah untuk rehat sejenak, kemudian kita bisa mengidentifikasi masalah pelan-pelan.
Dia memberikan tips untuk membuat list tugas-tugas yang harus dikerjakan, dengan begitu kita merasa memiliki kontrol terhadap hidup kita sendiri. Setelah beberapa tugas sudah kita kerjakan, memberi reward kepada diri sendiri tidaklah salah, bisa dengan beristirahat dulu, baca buku, atau melukis, atau kegiatan apapun yang kita sukai. Jangan belajar atau bekerja terus-menerus, karena sejatinya kita ini adalah human being bukan human doing. “Laptop saja butuh istirahat, apalagi kita manusia. Melakukan latihan fisik juga membuat menjadi lebih positif, baik dari segi fisik maupun mental” ujarnya.
Antusiasme masyarakat cukup tinggi terhadap kegiatan ini, dengan jumlah peserta sebanyak 150 orang, terdiri dari remaja, orangtua, guru, kader kesehatan, dan lain-lain. Forum webinar online membuat beberapa penyimak dari berbagai provinsi di luar pulau Jawa, hingga Papua, turut menghadirinya. Banyak peserta yang mengajukan pertanyaan seputar tema yang tengah dibahas.
RSUI berharap kegiatan Seminar Awam Bicara Sehat Virtual ini dapat terus hadir sebagai salah satu upaya promotif dan preventif kepada masyarakat luas. Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan seminar Bicara Sehat selanjutnya dapat dipantau melalui website dan media sosial RSUI.
Siaran ulang dari seminar awam ini dapat juga disaksikan di channel Youtube RSUI pada link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=t_8gpSbLXc4
Sampai bertemu kembali di ajang berikutnya!