RS Universitas Indonesia (RSUI) kembali menggelar rangkaian seminar awam yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan yang dapat dicegah dan mendorong deteksi dini dan pengobatan penyakit pada pria. Seminar ini memiliki tajuk utama: “Diabetes dan Bersepeda Sebabkan Disfungsi Ereksi, Mitos atau Fakta?”.
Disfungsi ereksi (DE) merupakan gangguan seksual berupa kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang memadai untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. DE merupakan gangguan seksual yang paling umum pada pria. Namun, DE sering dianggap remeh dan dianggap tabu untuk dibicarakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi DE pada penderita diabetes melitus lebih tinggi. Mengapa hal ini bisa berhubungan?
Narasumber pertama yaitu Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD yakni seorang guru besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin metabolik diabetes di RSUI. Prof Pradana membawakan materi berjudul “Diabetes, Mengapa Sebabkan Disfungsi Ereksi”.
Beliau menjelaskan bahwa gangguan seksual (sexual dysfunction) bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan dan jenis gangguan ini tidak hanya disfungsi ereksi. Gangguan tersebut bisa terjadi pada libidonya (keinginannya), bisa pada arousal-nya (terangsangnya) dalam hal ini pada laki-laki yaitu fungsi ereksinya terganggu, dan bisa juga gangguan pada orgasmenya (ejakulasi lebih awal, tidak bisa ejakulasi, atau ejakulasi tidak keluar dan baru keluar pada saat berkemih).
Menurut penelitian kohort The professional follow up study (n=51.529 laki-laki) prevalensi disfungsi ereksi yaitu 24,1 % sedangkan pada populasi yang mengalami diabetes melitus mencapai 45.8 % (hampir 2 kali lipatnya). Pasien diabetes melitus dapat mengalami disfungsi ereksi karena dua faktor, (1) faktor organik yaitu terjadi karena gangguan pada alat kelamin atau pada jaringan sarafnya; (2) faktor gangguan psikis, misalnya adanya rasa cemas karena mengidap penyakit kronis, kurang percaya diri dan kurangnya komunikasi antar pasangan. Pasien disfungsi ereksi yang usianya masih dibawah 40 tahun seringkali diakibatkan oleh faktor psikis, sementara pada pasien yang sudah berusia 40 tahun ke atas biasanya akibat faktor organik. Kemudian jika diakibatkan oleh faktor organik, disfungsi ereksi ini terjadi secara perlahan-lahan, sementara jika diakibatkan oleh faktor psikis, kejadian disfungsi ini terjadi mendadak, misalnya minggu kemarin masih sehat-sehat saja, lalu minggu ini tidak bisa. Prof. Pradana mengatakan bahwa ada baiknya untuk membedakan kedua faktor ini (organik atau psikis) pasien berkonsultasi ke dokter terlebih dahulu.
Prof.Pradana mengatakan disfungsi ereksi dapat pula terjadi akibat penyakit kronis lain seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, dan depresi berat. Disfungsi ereksi juga bisa terjadi karena faktor bertambahnya usia dan konsumsi obat-obatan tertentu seperti obat anti hipertensi jenis beta-bloker, mariyuana, narkoba, dan dapat pula terjadi akibat hormon estrogen.
Dalam mendeteksi kondisi disfungsi ereksi, Prof.Pradana menampilkan beberapa kuesioner yang dapat diisi pasien diantaranya ada kuesioner International Index of Erectile Funtions (IIFF) dan Erection Hardness Score (EHS). Setelah mengisi kuesioner tersebut akan didapatkan skor yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi keadaan apakah pasien tergolong normal, disfungsi ereksi ringan, sedang, atau berat. Skrining ini sangatlah penting. Disfungsi ereksi dapat pula menjadi tanda awal dari penyakit lain, misalnya penyakit jantung, penyakit serebrovaskuler, stroke, atau komplikasi lainnya.
Setelah melakukan identifikasi atau pemeriksaan fisik dengan dokter, langkah selanjutnya adalah menemukan penyebabnya, apakah disfungsi ereksi ini disebabkan oleh faktor organik, stress, atau akibat konsumsi obat-obatan tertentu. Setelah itu dokter dapat memberikan obat oral atau terapi tertentu sesuai dengan kondisi tiap pasien.
Prof. Pradana mengatakan bahwa perubahan gaya hidup penting untuk mengatasi disfungsi ereksi ini. Beberapa yang dapat diubah misalnya dengan menghindari rokok dan alkohol, menurunkan berat badan jika berlebih, mengurangi konsumsi makanan yang tinggi lemak dan kolesterol, dan menghindari obat-obatan yang berpotensi menyebabkan disfungsi ereksi. Selain itu hilangkan risiko yang menyebabkan stres, jalin komunikasi yang baik dengan pasangan untuk mendiskusikan ekspektasi, serta lakukan terapi psikoseksual jika dibutuhkan.
Selain diabetes melitus, kegiatan bersepeda juga banyak dikaitkan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Beberapa orang beranggapan bahwa tekanan pada area sekitar alat kelamin laki-laki saat bersepeda bisa merusak saraf dan pembuluh darah dan dapat memicu terjadinya disfungsi ereksi. Apakah hal tersebut benar atau hanya sekedar mitos?
Narasumber kedua pada seminar ini yaitu dr.Widi Atmoko, Sp.U(K)-FICS yakni seorang dokter spesialis urologi konsultan andrologi urologi di RSUI. Dokter Widi membawakan materi berjudul “Bersepeda dan Disfungsi Ereksi, Apakah Berkaitan?”.
Dokter Widi mengawali materi dengan menjelaskan kelebihan olahraga bersepeda dibanding olahraga lain. Bersepeda termasuk dalam jenis olahraga yang low impact sehingga tidak menyebabkan tekanan berlebih pada sendi atau jaringan otot, mudah untuk dilakukan karena tidak memerlukan keahlian khusus, serta intensitas dan durasinya bisa disesuaikan dengan kemampuan tiap orang.
Kemudian dokter Widi menjelaskan bagaimana bersepeda dapat memengaruhi organ seksual pria. Saat bersepeda, terjadi penekanan area perineum oleh saddle sepeda, dan diperberat dengan getaran saat bersepeda. Hal ini membuat arteri dan saraf pudendus terhimpit menyebabkan penurunan oksigen sementara, alhasil terjadilah mati rasa/kebas di area perineum dan ini sering dihubungkan dengan risiko impotensi yang meningkat sebesar 1,4 kali.
Dokter Widi menjelaskan pada sebuah penelitian didapatkan hasil bahwa kejadian DE pada pesepeda (n=2774) yaitu 56,4% dan kejadian pada non-pesepeda (pelari dan perenang) (n=1158) yaitu 65,2%. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa bersepeda tidak berhubungan dengan peningkatan insidensi impotensi dan terdapat temuan lain adanya kejadian striktur uretra yang lebih tinggi pada pesepeda (risiko trauma).
Pada penelitian lain terhadap 5282 pesepeda pria di Inggris juga menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan bersepeda dengan disfungsi ereksi maupun infertilitas pria. Prediktor terkuat terjadinya DE justru adalah hipertensi (meningkat 1,94 kali), merokok (meningkat 2,34 kali), dan usia yang lebih dari 60 tahun (meningkat 8,7 kali). Selain itu, penelitian dari MMAS Study (Massachusetts Male Aging Study) menunjukkan bahwa risiko DE tertinggi terjadi pada pasien yang memiliki gaya hidup sedenter (duduk selama ≥9 jam per hari).
Dokter Widi lalu menjelaskan beberapa langkah untuk meminimalkan risiko DE pada saat bersepeda, diantaranya (1) menyesuaikan sepeda dengan tubuh (bike fitting), (2) memilih saddle yang lebar dan no-nose, (3) menggunakan padding (pada sepeda atau padded short), (4) beristirahat secara berkala untuk mengurangi risiko baal.
Bersepeda sangat baik untuk kesehatan secara umum, dapat mencegah risiko kematian akibat masalah kardiovaskular (yang juga merupakan risiko DE derajat berat). Potensi DE akibat bersepeda dapat diminimalisir atau dicegah, selain itu sebagian besar rasa baal akibat bersepeda hanya bersifat sementara.
Di akhir, dokter Widi berpesan jika ada masyarakat yang mengalami DE, maka sebaiknya segera lakukan pemeriksaan lengkap untuk memastikan ada tidaknya masalah kardiovaskular yang belum terdiagnosis sebelumnya. Penatalaksanaan DE sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah atau memperbaiki kondisi jantung pembuluh darah, begitu pula sebaliknya (skrining DE untuk penderita penyakit kardiovaskular). Saat ini tersedia banyak pilihan terapi disfungsi ereksi yang dapat disesuaikan dengan kondisi tiap pasien.
Bagi Sahabat RSUI yang masih penasaran mengenai keluhan atau pertanyaan terkait disfungsi ereksi dan diabetes melitus, dengan senang hati dokter-dokter RSUI akan membantu memberikan saran medis di poli rawat jalan RSUI.
RSUI berharap kegiatan Seminar Awam Bicara Sehat Virtual ini dapat terus hadir sebagai salah satu upaya promotif dan preventif kepada masyarakat luas. Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan seminar Bicara Sehat selanjutnya dapat dipantau melalui website dan media sosial RSUI.
Siaran ulang dari seminar awam ini dapat juga disaksikan di channel Youtube RSUI pada link berikut https://www.youtube.com/watch?v=GnrHFf7uJEU. Sampai bertemu kembali di ajang bicara sehat berikutnya!